SOLO HIKING GUNUNG ANDONG 1726 MDPL
Minggu lalu, hari Selasa tanggal 5 - 6 Desember 2023 saya melakukan solo hiking ke Gunung Andong via Sawit Basecamp Taruna Jaya Giri.
Seperti alasan kebanyakan orang ke gunung, saya pun begitu, ke gunung semata - mata ingin menghirup udara segar pegunungan dan menjauh dari hiruk pikuk rutinitas sehari - hari. Pasti banyak yang mempertanyakan, mau refreshing kok malah milih capek - capek ke gunung sih? Nggak jadi refresh, malah badan sakit semua yang ada? Tidur di tanah, bawa barang berat ke gunung buat apa sih? Saya pribadi kalo ditanya begitu cuma bisa senyum dan jawab dengan alasan sekenanya, karena yang nggak tahu nikmatnya ke alam pasti akan selalu mempertanyakan apa yang kita lakukan dan nggak akan bisa terima sama alasan yang kita katakan, jadi percuma jelasin panjang lebar. Tapi, untuk orang yang sudah tahu nikmatnya gunung, nggak akan heran dengan apa yang kita lakukan dan nggak butuh penjelasan atas itu.
Karena saya nggak punya teman sefrekuensi yang suka alam, jadi saya memutuskan untuk pergi sendiri melawan semua ketakutan yang ada di pikiran. Tentu saja, nekat tetap harus dibarengi dengan persiapan yang matang. Karena cukup banyak terjadi kecelakaan di alam bebas karena mereka hanya fokus pada ketakutan terhadap mitos - mitos suatu tempat dan mengesampingkan persiapan yang seharusnya di fokuskan baik fisik, mental maupun peralatan.
Setelah mencari informasi dari berbagai sumber, saya berangkat naik motor menempuh jarak kurang lebih 78 km dari Klaten menuju basecamp dengan berbekal petunjuk dari google maps. Berangkat pukul 09.45 pagi dan sampai basecamp pukul 11.50.
10 menit sebelum sampai basecamp tiba - tiba hujan turun karena saat saya berangkat itu cuaca sedang mendung. Tidak heran, karena ini bulan Desember, musim penghujan. Meski nanggung, saya tetap memutuskan untuk pakai mantol. Sesampainya di basecamp, saya melakukan registrasi di pos registrasi Basecamp Taruna Jaya Giri. Saat itu adalah weekday, jadi tidak banyak orang yang melakukan pendakian atau camping di puncak, paling hanya tektok saja. Untuk registrasi, saya mengeluarkan biaya sebesar Rp 25.000,- termasuk parkir motor.
Dengan keraguan di hati ada nggak kira - kira teman yang mendirikan tenda di puncak akhirnya saya memutuskan tetap naik ke atas. Setelah salat dzuhur saya memulai pendakian kira - kira pukul 12.45 siang.
Untuk jalur via Sawit ini ada 2 percabangan yaitu jalur lama dan jalur baru. Kalau dari peta dan review di internet, jalur lama ini lebih cepat dengan konsekuensi jalurnya lebih terjal atau menanjak sedangkan jalur baru lebih landai dan lebih panjang. Saya memilih jalur lama karena saya nggak bawa air, jadi saya harus melewati mata air dimana mata air itu hanya ada di jalur lama.
Karena saya naik setelah hujan dan langit masih mendung dan berkabut, tidak heran selama berada di jalur pendakian saya pun di kepung kabut terutama saat masih berada di bawah sampai pos mata air karena disana vegetasinya masih rapat dengan pohon pinus. Mendaki sendirian, setelah hujan, jalur sepi dan licin, dikepung kabut, maka tentu mulai muncul rasa takut. Tapi karena nanggung dan nggak mungkin turun dan pulang, maka saya lanjutkan.
Dengan kondisi jalur licin karena hujan, dari gapura pendakian sampai Pos 1 (Watu Pocong) saya menempuh waktu kurang lebih 15 menit dengan jalur berupa tangga cor dan vegetasinya masih rapat pepohonan. Sebelum pos 1 juga ada warung, tapi karena saat itu weekday makanya warung itu tutup. Pos 1 sendiri berupa gubuk sehingga bisa digunakan untuk tempat istirahat dan berteduh jika hujan karena beratap.
Dari Pos 1 ke Pos 2 (Watu Gambir) saya membutuhkan kurang lebih 15 menit dengan medan berupa tanjakan tangga dengan banyak akar dan batu. Tips dari saya, kalau melewati medan tanah sehabis hujan yang licin dan disana banyak pohon pinus, maka carilah pijakan yang ada daun - daun pinus keringnya sehingga nggak mudah terpeleset. Jalur disini masih sama, masih di penuhi pohon pinus. Di pos 2 ini ada warung, namun lagi - lagi tutup, sepertinya karena bukan weekend.
Dari Pos 2 ke mata air lalu ke Pos 3 (Watu Wayang), saya membutuhkan waktu kurang lebih 30 menit. Mungkin karena dari Pos 2 saya kehujanan dan menggunakan mantol serta sudah mulai lelah dan takut dikepung kabut sehingga gelap dan jarak pandang terbatas, perjalanan dari Pos 2 ke Pos 3 ini terasa sangat lama dan cukup berat karena fokus terbagi antara memilih pijakan kaki agar tidak terpeleset sebab kanan atau kiri jalur adalah jurang dan jalur agak zig zag serta fokus pada sekitar apabila tiba - tiba tanah longsor atau ada hewan menyerang sebab disana banyak peringatan hati - hati tanah rawan longsor.
Jika teman - teman membawa makanan di luar tas, mulai Pos 2 ke atas harus hati - hati siapa tahu bertemu monyet di jalan dan menyerang teman - teman. Saya saat di mata air dan saat akan mengisi air bertemu monyet yang sedang makan di atas pohon jadi saya berusaha untuk tidak membuat banyak gerakan supaya tidak menarik perhatian monyet itu.
Setelah mengambil air, saya melanjutkan perjalanan hingga pos 3. Jalur saat di mata air ini vegetasi sudah mulai terbuka, sehingga meski kabut, jalur masih terlihat cukup terang dan pemandangan desa di bawah sudah mulai terlihat. Sesampainya di pos 3, saya lanjut perjalanan karena kondisi badan sudah dingin kehujanan.
Dari pos 3 sampai puncak saya membutuhkan waktu kurang dari 30 menit. Lagi - lagi, karena kondisi jalan licin, badan lelah dan dingin, sehingga saya membutuhkan waktu lebih lama. Saya rasa dari Pos 2 ke Puncak seharusnya tidak sampai 1 jam jika kondisi cuaca cerah dan jalur kering. Kondisi jalur kurang lebih seperti ini.
Sesampainya di puncak, saya sangat bersyukur salah satu warung disana buka. Setidaknya kalau hari ini tidak ada yang camp, saya tetap ada teman di puncak. Sayangnya, saat saya sampai di puncak, tiba - tiba hujan turun jadi tidak langsung mendirikan tenda. Saya mampir di warung itu dan memesan teh panas. Untuk harga di warung ini saya rasa murah, untuk teh panas manis Rp 3.000,-. Saya sedikit ngobrol dengan pemilik warung. Kata bapak penjaga warung, kalau nanti tidak ada tenda lain, saya disarankan untuk tidur di warung bapak itu saja. Tapi biasanya walaupun weekday tetap ada yang camping antara 5 - 10 tenda, tapi biasanya mereka datang sehabis maghrib. Saya sampai di puncak saat itu jam 3 kurang. Saya masih berharap nanti akan ada tenda lain di puncak.
Setelah hujan reda, saya memutuskan mendirikan tenda. Saat itu pukul 17.00 dan tenda saya masih sendirian. Sebenarnya saat itu saya kebelet ke kamar mandi tapi saya tahan tahan karena takut ke kamar mandi jadi saya cuma di tenda. Tapi setelah tidak tahan, saya memutuskan ke kamar mandi yang ada di dekat makam ki Joko Pekik, dari puncak saya turun sedikit. Namun karena saat itu sudah hampir maghrib mulai gelap dan kabut turun, saya agak takut. tapi tetap nekat ke kamar mandi. Kamar mandi di sana menyediakan air dalam botol air mineral 1,5 L dengan membayar Rp 5000,- dan kamar mandi membayar Rp 3.000,-.
Setelah itu saya kembali ke tenda, dan berganti pakaian. Karena saat itu cukup dingin dan baju saya basah karena hujan. Ini penting ya teman - teman, kalau sudah di tenda saat di puncak, usahakan pakaian kering agar tidak terjadi hipotermia apalagi setelah kehujanan, wajib ganti baju kering. Karena di puncak gunung (meskipun gunung tidak tinggi) suhunya dingin. Kalau baju basah, maka suhu badan akan turun terus dan bisa saja terjadi hipotermia. Untuk yang tidak kuat dingin seperti saya, usahakan membawa jaket cadangan, kaos kaki, sarung tangan, dan baju hangat. Salah satu tips yang saya dapat dari Dzawin Nur, kalau sedang dingin, usahakan jangan sampai perut kosong, dan usahakan makan agar makanan itu diolah tubuh dan bisa menghangatkan tubuh atau membantu mengembalikan suhu tubuh ke suhu normal. Meski nggak laper, usahakan tetap makan.
Kurang lebih pukul 19.15 saya mendengar ada rombongan datang dan mendirikan tenda. Dalam hati saya sangat bersyukur akhirnya saya tidak sendirian di puncak Andong. Oh iya, saya memutuskan mendirikan tenda di samping warung itu, di camp area sebelum puncak sejati, disana camp areanya sudah di kotak - kotakkan dan diberi jalur air untuk mengantisipasi supaya air tidak membanjiri tenda. Sampai tengah malam, saya perhatikan sepertinya ada kurang lebih 5 tenda di camp area itu.
Ada satu hal yang saya tidak dapatkan informasinya di internet, yaitu ada hewan saya kurang tahu itu tikus atau apa, sepertinya tikus besar. Saya kurang yakin karena dia lari cepat. Jadi saat saya tidur, tiba - tiba tenda saya grubak grubuk dan hewan itu menengok di pintu tenda. Asumsi saya, hewan atau tikus itu sedang mencari makanan. Saya amankan kresek sampah di luar tenda. Saya masukkan ke dalam tenda dan saya menata logistik agar tidak tercecer dan mengundang tikus itu lagi. Namun, tikus itu tetap datang pergi di sekitar tenda, jadi saya memutuskan untuk menyemprot parfume ke kresek sampah saya, sebab sepertinya kresek saya yang mengeluarkan bau sisa makanan dan mengundang hewan itu.
Sejak itu, saya sulit tidur karena terganggu dengan suara tikut itu yang tetap datang pergi. Saya dengar, tenda lain juga diganggu. Menurut saya, karena camp ground itu sepi, maka tikus berani muncul dan mendekat. Mungkin saat tenda di puncak ramai, tikus - tikus itu nggak berani datang.
Karena nggak bisa tidur lagi, saya memutuskan keluar dan melihat pemandangan city light di kaki Gunung Merbabu. Iya, tenda saya langsung menghadap ke Gunung Merbabu, gunung impian saya. Dan berakhir saya tidak tidur sampai pagi.
Sayangnya pagi itu, saya tidak dapat sunrise sebab masih kabut tebal. Saya memutuskan segera sarapan dan berkemas. Karena kabut cukup tebal, saya memutuskan untuk menunggu kabut pergi karena saya takut kalo di jalur dikepung kabut seperti kemarin.
Setelah kabut tipis, saya memutuskan untuk turun. Sesampainya dibawah, saya tanya apakah perlu melapor ke basecamp bahwa sudah turun. Ternyata untuk di basecamp ini tidak perlu melapor dan meninggalkan kartu identitas, jadi kalau sudah turun lengkap dan aman, bisa langsung pulang.
Setelah perjalanan ini berakhir, saya sampai pada kesimpulan bahwa solo hiking terlalu beresiko untuk saya sebagai orang yang tidak bersertifikasi resmi untuk berkegiatan di alam bebas. Berjalan sendiri apalagi saat hujan, terlalu besar resikonya. Bukan masalah gunungnya tinggi atau tidak. Tetapi, kalau di jalur terjadi apa - apa dengan saya, tidak ada yang menolong. Dengan melihat jalur tangga batuan yang licin dan kondisi hujan, resiko terpeleset, patah kaki atau tulang geser, atau jatuh ke jurang, karena kabut yang mengepung dan jarak pandang pendek bisa saja tersesat, hipotermia, pusing, pingsan, dll bisa saja menyerang. Belum lagi kalau di serang hewan seperti monyet atau ular. Selain itu, jika kabut tebal, kita sulit melihat kalau ada tanah longsor atau batuan jatuh atau air banjir dari atas. Dan saya sendirian, tidak ada yang menolong dan melapor ke tim evakuasi basecamp. Jadi saya putuskan, untuk pendakian kedepannya, saya akan berangkat dengan minimal 2 orang. Tapi yang pasti, saya akan tetap ke gunung lagi. Tidak ada yang mengurangi rasa cinta saya ke alam. Ingat bahwa semakin beresiko suatu kegiatan maka persiapan akan semakin matang.
.jpg)

.jpeg)


%20(1).jpg)
.jpg)
%20(1).jpg)


.jpeg)
Komentar
Posting Komentar